Kekuatan Anak Negeri
Cerpen by Aldena Oktavian Permatasari
Sampah-sampah di sepanjang jalan, terik matahari yang panas dan kemacetan Jakarta yang tiada henti telah menjadi saksi bisu akan kehebatan setiap manusia didalamnya. Pemuda-pemudi dengan wajah-wajah imut, selayaknya anak muda belum berkeluarga telah merasakan susahnya hidup. Berbekal barang-barang bekas mereka jadikan sebuah benda bermanfaat yang mampu membantu mereka mendapatkan recehan-recehan untuk menyambung hidup.
Sampah-sampah di sepanjang jalan, terik matahari yang panas dan kemacetan Jakarta yang tiada henti telah menjadi saksi bisu akan kehebatan setiap manusia didalamnya. Pemuda-pemudi dengan wajah-wajah imut, selayaknya anak muda belum berkeluarga telah merasakan susahnya hidup. Berbekal barang-barang bekas mereka jadikan sebuah benda bermanfaat yang mampu membantu mereka mendapatkan recehan-recehan untuk menyambung hidup.
Tanpa pendidikan yang layak dan
dengan umur yang masih sangat muda telah membawa mereka masuk dan merasakan
susahnya hidup, susahnya mencari makan, susahnya mencari recehan-recehan itu.
Terlalu banyak kondisi keluarga di Jakarta yang tidak memiliki pendapatan matang
mengharuskan anak-anak belia ini putus sekolah dan membantu orang tua mereka mencari
nafkah. Ada beberapa hal yang bisa saja menjadi penyebab keluarga-keluarga ini
tak mampu membiayai keluarganya dengan baik adalah karena pernikahan yang
terlalu dini, dan kurangnya pengalaman atau pendidikan sehingga tak mampu mendapatkan
pekerjaan yang layak.
Keadaan-keadaan tersebut
terkadang menjadi sebuah beban berat bagi orang tua juga bagi anak mereka. Namun
hebatnya manusia-manusia di negeri ini adalah kuatnya tekad mereka untuk
mencari recehan-recehan itu demi menyambung hidup mereka. Anak kecil, remaja,
sampai kakek/nenek semua begitu semangat mencari recehan itu di setiap jalan,
di setiap gang, di setiap sudut ibukota.
Aku mencari recehan itu mulai pukul
tujuh pagi sampai pukul delapan pagi. Aku sangat menyadari kondisi kehidupanku,
kondisi keuangan orang tuaku. Walau umurku masih sangat muda, tapi pemikiranku
sudah cukup dewasa, semua ini karena hidup yang memaksaku harus berpikir
dewasa. Aku memang masih anak kecil, aku bukan mereka para remaja dan para
orang dewasa yang sudah mampu mencari pekerjaan yang layak. Tapi aku punya
mimpi yang mungkin bisa lebih tinggi dari mimpi mereka. Aku ingin menjadi
dokter, aku ingin mendirikan sekolah gratis untuk mereka yang tak mampu
bersekolah. Jadi dokter memang tak mudah, aku harus mengumpulkan recehan demi
recehan lebih banyak agar mampu sekolah kembali. Itulah sebabnya setiap pagi
aku hanya mencari recehan itu sampai pukul delapan, sisanya sampai pukul dua
aku selalu pergi ke sebuah Sekolah Dasar yang tak jauh dari tempatku mencari
recehan tadi. Aku melihat dari jendela, berusaha memahami setiap pelaran yang
berlangsung hari itu. Dengan berbekal buku bekas yang sangat kotor dengan
bulpoin yang kupungut di jalanan, aku menulis setiap kalimat yang penting agar
dapat kupelajari kembali.
Ketika jam dinding telah
menunjukkan pukul satu siang atau ketika bel pulang sekolah telah dibunyikan,
aku sesegera mungkin meninggalkan tempat tersebut agar tak ada seorang pun yang
melihat keberadaanku, tiada mampu diri ini jika harus menerima hinaan dari
mereka. Seperti dulu saat aku pertama kali ke sekolah tersebut ketika mereka
keluar dari kelas aku menyapa mereka dengan senyuman, tetapi apa daya dengan
penampilanku yang sangat lusuh mereka pun meledekku, menghinaku. Jujur rasanya
saat itu aku ingin menangis, tapi hati ini menguatkanku agar tidak menangis aku
harus kuat. Walau pernah mendapat pengalaman buruk seperti itu, tetapi hati ini
pun selalu menguatkanku agar tak lagi memikirkan kejadian tersebut, aku harus
terus ke sekolah tersebut dan terus mendengarkan setiap pelajaran yang
dilaksanakan. Karena meskipun tak mampu lagi bersekolah, aku tak mau menjadi
orang bodoh, aku ingin menjadi orang yang pandai agar kelak mampu bersaing
dengan mereka yang pandai pula, dan tentunya agar kelak aku mampu meraih semua
mimpi-mimpi yang benar-benar telah kutanamkan dalam hati.
Sekitar pukul dua siang aku
kembali mencari recehan-recehan itu, namun tak lagi di jalanan. Aku mencarinya
dari rumah ke rumah, menyanyikan setiap lagu sampai habis kemudian menunggu
pemilik rumah memberiku recehan itu. Jujur saja aku lebih suka mencari recehan
dari rumah ke rumah daripada di jalanan. Karena recehan yang kudapat setiap aku
mencari di perumahan selalu lebih banyak dibandingkan ketika aku mencari di
jalanan. Cukup lama aku mencari recehan itu di perumahan, yaitu sampai sekitar
pukul tujuh malam. Setelah itu aku kembali ke jalanan mencari recehan lagi
hingga tengah malam. Jika tengah malam atau sekitar jam dua belas malam
teman-teman sebayaku sudah terbaring lelap di kasur mereka yang empuk, berbeda
seratus delapan puluh derajat denganku yang jam dua belas itu baru selesai
bekerja mencari recehan dari jalanan ke perumahan kemudian kembali lagi ke
jalanan. Setiap recehan yang telah kudapat, setengahnya selalu kuberikan pada
orang tua dan setengahnya lagi kutabung. Itulah kegiatan sehari-hariku yang
sangat jauh berbeda dengan teman sebayaku lainnya. Tapi rasanya tekad ini tak
mampu lagi dikalahkan, walau aku tak mampu bersantai seperti teman sebayaku
lainnya, aku tetap semangat menjalani hidup ini, semangat mencari recehan itu
sampai keringatku bertumpahan.
Orang tuaku pun tak mampu
berbuat apa-apa, mereka tak mampu melarang setiap perbuatanku asalkan itu
positif. Karena kondisi orang tuaku yang sangat pas-pasan membuat mereka harus
merelakan anaknya untuk bekerja meski di usia yang masih sangat muda. Setiap
hari orang tuaku tidak menyanyi sepertiku dari kendaraan ke kendaraan atau dari
rumah ke rumah. Tapi orang tuaku bekerja keras menjadi pemulung. Tentu saja recehan
hasil memulung sangatlah minim. Setiap senyuman dan semangat yang muncul dari
kedua orang tuaku selalu menjadi semangat dan motivasi terbesar untukku.
Membuatku semakin ingin menjadi dokter, menjadi orang sukses agar orang tuaku
tak perlu lagi memungut sampah-sampah di jalanan yang bau dan kotor.
Suatu hari, sama seperti
biasanya aku melakukan kegiatan rutinku. Mencari recehan di perumahan sekitar
pukul dua siang. Namun tiba-tiba saja datang empat remaja yang umurnya sudah
pasti lebih tua menghampiriku yang sedang duduk beristirahat di trotoar pinggir
jalan. Mereka mengajakku untuk bergabung dengan band mereka. Sebenernya sih
bukan band, tapi lebih seperti sekumpulan pengamen yang berkolaborasi menjadi
satu menyanyikan sebuah lagu dari cafe ke cafe. Setelah kutanya apa alasan
mereka mengajakku, ternyata jawaban mereka adalah “Suaramu lumayan dan
permainan gitarmu bagus. Kita sering banget secara nggak sengaja liat dan
dengerin waktu kamu ngamen”. Padahal aku pikir selama ini suaraku fals banget
dan permainan gitarku acak-acakan, tapi itu tak penting. Yang pasti mendapat
tawaran seperti itu tentu saja aku mau. Walaupun hanya sekumpulan pengamen yang
nyanyi di cafe paling tidak hasilnya lebih besar daripada aku ngamen biasa dan ini
bisa membantuku lebih cepat mengumpulkan uang untuk kembali bersekolah.
Keesokan harinya mulai pukul
setengah lima sore aku tak lagi ngamen seperti biasa, tetapi aku bernyanyi dari
cafe ke cafe bersama kakak-kakak yang mengajakku. Disini aku tidak sebagai
vokalis, aku hanya memainkan gitarku seperti biasa dan menjadi backsound. Yang
menjadi vocalis adalah Kak Rio, sisanya ada Kak Damar, Kak Vino dan Kak Bima. Mereka
adalah kakak-kakak yang baik, punya mimpi dan tentu saja selalu mendukung pula
setiap mimpiku. Kini kegiatan rutinitasku sedikit berubah, di perumahan aku
hanya ngamen dari jam dua siang sampai jam setengah empat sore. Malamnya pun
aku tak lagi ngamen di jalan raya. Jadi mulai pukul empat sore sampai tengah
malam aku nyanyi di cafe bersama Kak Rio, Kak Damar, Kak Vino dan Kak Bima.
Sejak aku bergabung bersama
mereka, rasanya tabunganku semakin cepat bertambah, recehanku semakin cepat
bertambah. Hingga suatu pagi tepat di hari Minggu, aku menghitung jumlah
recehanku. Dan benar-benar tak kusangka karena ternyata recehan yang kutabung
sejak lama itu telah berjumlah 754.000 rupiah. Jumlah itu sangat cukup untuk
membeli keperluan sekolah. Betapa bahagia diri ini saat aku mengetahui jumlah
sebanyak itu. Akhirnya hari itu juga aku langsung membeli peralatan sekolah,
mulai dari seragam, sepatu, buku, bulpoint, pensil, dan peralatan tulis
lainnya. Rasanya tak sabar aku menunggu hari esok yang tak lain adalah hari
Senin. Aku ingin datang ke sebuah Sekolah Dasar yang selama ini sering ku
datangi. Aku ingin mencoba mengurus proses masukku ke sekolah tersebut. Dari
pagi sampai sore aku memang memutuskan untuk libur ngamen di jalanan dan di
perumahan, aku ingin menghabiskan pagi sampai soreku untuk membeli peralatan
sekolah. Lalu malamnya aku kembali mencari recehan di cafe.
Keesokan harinya Ayah
mengantarku ke Sekolah Dasar yang biasa kudatangi, dengan memakai seragam baru,
sepatu baru, tas baru dan semua yang serba baru aku melangkah dengan senyuman
lebar menuju sekolah tersebut. Bahagia sekali rasanya jika hari ini aku mampu
memulai kembali masa sekolahku. Setelah menunggu beberapa menit Ayah berbicara
dengan Bapak Kepala Sekolah, dan akupun diperbolehkan untuk bersekolah disini.
Beruntung masih ada dana BOS, jadi aku tak perlu khawatir dengan biaya sekolah.
Setelah berbicara beberapa menit Ayah langsung memelukku dengan senyuman
kebahagiaan.
“Ayah
bangga sama kamu Nak, akhirnya sekarang kamu bisa kembali bersekolah.
Pertahankan ya Nak, maaf Ayah selama ini tidak membantumu mengumpulkan uang.
Kamu mengumpulkan uangmu sendiri dengan susah payah. Ayah benar-benar bangga
padamu Nak, Ayah sayang sama kamu”
Tak
kuasa mendengar semua yang Ayah katakan aku pun menangis, aku terharu, aku bahagia.
Lalu Ayah melepaskan pelukannya dan berkata :
“Yasudah
kalau gitu kamu sekolah ya. Ayah balik dulu. Kamu belajar yang bener supaya
mimpimu bisa tercapai ya Nak”
“Amin
yah. Makasi yaa” jawabku.
Kini rutinitasku berubah lagi,
kali ini berubah hampir seratus delapan puluh derajat. Dari pagi sampai siang
aku sekolah, lalu dari siang sampai sore aku belajar dan mengerjakan semua
tugas sekolah. Kemudian malamnya baru aku mencari recehan lagi di cafe-cafe
seperti biasanya. Walau sekarang aku sudah kembali bersekolah, tapi kewajibanku
untuk mengumpulkan recehan-recehan itu tetap masih ada. Aku harus tetap
menabung untuk biayaku sekolah nanti saat SMP, SMA, sampai perguruan tinggi. Mungkin
jika aku bermimpi untuk dapat masuk ke SMA dan perguruan tinggi adalah suatu
hal yang mustahil, mengingat biayanya yang banyak karena tak lagi mendapat dana
BOS. Tapi semua itu tak menyurutkan niatku, mungkin jika aku hanya mengandalkan
uang memang tak mampu. Jadi aku berniat untuk menjadi siswa teladan dan pandai
agar aku mendapat beasiswa saat SMA dan kuliah.
Hari-hari baruku berjalan dengan
sangat lancar dan menyenangkan. Recehan yang kudapat saat bersama Kak Rio, Kak
Damar, Kak Vino dan Kak Bima pun semakin banyak. Orang-orang semakin mengenal
kami dan memberi apresiasi yang bagus untuk kami. Bersyukur sekali rasanya,
karena dengan apresiasi yang bagus itu kami jadi makin sering nyanyi dari
cafe-cafe. Recehanku pun semakin cepat bertambah.
Hari semakin cepat berlalu,
dengan rutinitasku yang sama sekali tiada waktu untuk bersenang-senang
membuatku lupa akan waktu. Tak terasa kini aku sudah kelas tiga SMP, tak lama
lagi aku akan lulus dan melanjutkan ke SMA. Recehanku telah cukup untuk membeli
peralatan sekolah SMA ku nanti, tapi saat masuk SMA nanti aku perlu berjuang
keras karena harus mendapat beasiswa jika ingin lanjut ke jenjang SMA. Yang
perlu kulakukan sekarang hanya lebih giat belajar agar nilai UNAS ku nanti
maksimal. Karena dari pengumuman beasiswa yang kudapat, salah satu syaratnya
adalah mendapat nilai UNAS sempurna dengan nilai raport selama tiga tahun
minimal rata-rata 9. Ini benar-benar persyaratan
yang sulit, tapi bersyukurlah karena rata-rata raportku selama tiga tahun
selalu diatas 9 jadi butuh satu langkah
lagi agar aku bisa mendapatkan beasiswa yaitu nilai UNAS yang sempurna. Meskipun
kini aku harus belajar lebih giat agar mendapat nilai yang sempurna, tapi aku
pun tetap harus mencari recehan setiap harinya. Yang dapat kulakukan sekarang
hanyalah menambah waktu belajarku tanpa mengurangi waktuku untuk mencari
recehan setiap harinya. Bangun pagi pukul setengah empat subuh, belajar sampai
pukul setengah enam kemudian melanjutkan aktivitasku seperti biasanya. Semakin
sedikit waktuku untuk beristirahat, namun berkurangnya waktu istirahatku ini
sama sekali tak mematahkan semangatku. Karena hanya semangatkulah yang mampu
membuat mata ini tetap mampu bertahan dengan kuat dalam jangka waktu yang cukup
lama.
UNAS semakin dekat, persiapanku
pun semakin meningkat. Tepat tiga hari sebelum UNAS aku libur mencari recehan
di jalanan, aku hanya mencari recehan di cafe. Butuh waktu lebih untukku
beristirahat dan memantapkan diri untuk ujian nanti. Waktu berjalan begitu
cepat, dan hari itu pun tiba. UNAS hari pertama dimulai, aku berangkat meminta
restu orang tua, lalu mengerjakan semua soalnya dengan lancar. Empat hari pun
berlalu, UNAS selesai dan aku melanjutkan aktivitasku seperti sebelumnya.
Kembali mencari recehan-recehan itu sambil menunggu hasil UNAS. Semakin padat
jadwalku mencari recehan dari cafe ke cafe, semakin banyak cafe yang
memanggilku dan kakak-kakak lainnya untuk tampil di cafe mereka. Tentu saja ini
membuat recehanku semakin bertambah banyak, tabunganku semakin banyak dan
recehan yang kuberikan pada orang tua pun semakin banyak.
Detik-detik pengumuman hasil
UNAS, seluruh siswa kelas tiga dikumpulkan di tengah lapangan. Bapak kepala
sekolah dengan beberapa guru lainnya telah berdiri siap di depan lapangan
dengan membawa beberapa kertas yang kemungkinan adalah data siswa yang lulus.
Setelah menunggu beberapa menit akhirnya Bapak kepala sekolah membuka
pembicaraan, mengucap syukur dan sedikit sambutan lalu menyebutkan sepuluh
besar untuk peraih nilai UNAS terbaik di sekolah. Perlahan disebutkan dari
urutan ke sepuluh hingga urutan kedua, namun sama sekali tak ada namaku
terpanggil. Rasanya mulai luntur semangatku untuk mampu melanjutkan pendidikan
ke tingkat SMA. Beberapa menit kemudian, Bapak kepala sekolah menyebutkan
sebuah nama yang menjadi peringkat pertama. Setelah hampir hilang semangatku
untuk melanjutkan ke tingkat SMA, tiba-tiba terdengar seseorang menyebut nama
lengkapku sebagai peringkat pertama dari sepuluh besar nilai UNAS terbaik di
sekolah dengan nilai rata-rata 10 atau sempurna. Rasanya seketika semangatku
tumbuh kembali bahkan semakin kuat. Aku maju kedepan bersalaman dengan Bapak
kepala sekolah dan beberapa guru lainnya, menerima sebuah hadiah kecil dari
sekolah sebagai penghargaan untuk kami peraih sepuluh besar nilai UNAS terbaik
di sekolah.
Beberapa menit kemudian semua
siswa kelas tiga diperbolehkan pulang, aku langsung berlari menuju kedua orang
tuaku untuk memberi kabar gembira ini. Sepanjang jalan aku meneteskan air mata,
tak menyangka jika semua ini menjadi kenyataan. Seperti mimpi, itulah yang
kurasakan. Berawal dari aku seorang anak jalanan yang tak mampu bersekolah tapi
kini aku mampu bersekolah, mendapat nilai
sempurna di UNAS tingkat SMP, sungguh ini sebuah keajaiban yang kudapat dari
Tuhan. Dan sampailah aku di hadapan kedua orang tuaku. Terlihat mereka terkejut
melihat tingkahku yang berlari tak karuan. Lalu tanpa banyak omong aku langsung
mengucapkan poin penting yang ingin kukatakan.
“Ayah
Ibu, aku lulus. Aku dapat nilai sempurna. Aku dapat rata-rata 10” ucapku.
“Alhamdulillah
anakku. Kamu hebat. Selamat ya Nak. Sekarang kamu bisa melanjutkan keinginanmu
untuk bersekolah di SMA” kata Ayahku.
“Anakku,
selamat ya. Ibu bangga sama kamu Nak. Semoga semua mimpimu tercapai ya. Ibu
selalu mendoakanmu Nak” kata Ibuku.
Menangis,
iya tentu saja aku menangis mendengar setiap ucapan orang tuaku. Tapi tangisan
ini, bukan tangis kesedihan. Ini tangis kebahagiaan, sebuah kebahagiaan seorang
anak yang sedikit demi sedikit membuat orang tua tersenyum bahagia atas apa yang
kuraih dan kumiliki.
Yang harus kulakukan saat ini
adalah mendaftarkan diri ke sebuah SMA yang membuka peluang beasiswa. Aku
memberikan semua berkas yang diperlukan. Beberapa SMA kudatangi, aku daftar
hampir di lima SMA yang berbeda. Dan setelah menunggu selama hampir satu bulan,
akhirnya diumumkan bahwa aku diterima di semua sekolah yang kudatangi. Lagi
lagi ini sebuah keajaiban untukku, lalu kupilih satu SMA yang cukup bagus dan
letaknnya tak terlalu jauh dari tempat tinggalku, di daerah kumuh dekat
jembatan. Kujalani masa SMA ku dengan baik, aku bersyukur semua teman di SMA ku
mampu menerima kondisiku sebagai anak jalanan. Tak ada diantara mereka yang
menghinaku, semua guru dan siswa menghargai kondisiku. Hingga tak terasa masa
SMA ku akan berakhir, aku sudah kelas tiga SMA, lagi lagi aku harus berhadapan
dengan UNAS. Tapi itu tak masalah, yang perlu kulakukan hanya melakukan teknik
belajar seperti apa yang kulakukan saat SMP.
Setelah lulus SMA nanti tentu
saja aku tidak mau berhenti di pendidikan SMA. Cita-citaku yang ingin menjadi
dokter harus tercapai, aku harus lanjut ke tingkat perguruan tinggi. Beruntungnya
setelah kucari informasi tentang beasiswa untuk mahasiswa baru, persyaratannya
tidak terlalu berat. Yang dibutuhkan hanya data nilai raport dari kelas satu
SMP sampai kelas dua SMA, dengan penghargaan yang pernah diraih. Aku hanya
bermodal nilai raport kelas satu SMP sampai kelas dua SMA, karena selama ini
aku sama sekali belum pernah mengikuti lomba apapun. Tapi meskipun begitu aku
tetap optimis, aku pasti bisa mendapatkan beasiswa itu.
UNAS untuk tingkat SMA telah
berlalu, pengumuman kelulusan pun telah diumumkan. Aku mendapat nilai sempurna
lagi, dengan rata-rata 10. Satu bulan kemudian pengumuman penerima beasiswa,
dari delapan universitas yang kudatangi hanya satu yang menerimaku. Mungkin
karena aku hanya bermodal nilai raport, jadi tak banyak universitas yang
melirikku. Walau begitu aku tetap mengucap syukur, karena paling tidak ada satu
universitas yang menerimaku. Namun masalahnya kini, universitas yang menerimaku
ini letaknya sangat jauh dari tempat tinggalku. Universitas ini berada di
daerah Tangerang, sedangkan tempat tinggalku di daerah Jakarta Timur. Karena
hanya ini satu-satunya universitas yang menerimaku, aku tak punya pilihan lain,
aku tetap harus kuliah.
Beruntungnya uang recehan yang
sudah kukumpulkan selama SMP sampai SMA telah berjumlah cukup banyak dan
setelah kuhitung recehanku ini dapat digunakan untuk membayar kos selama tiga
bulan dan untuk makan selama empat bulan. Kuputuskan untuk tinggal di sebuah
kosan di daerah Tangerang. Sambil menunggu hari pertama masuk kuliah, aku
mencari pekerjaan. Aku tak lagi mencari recehan dijalanan atau di cafe.
Bermodal ijasah SMA, aku melamar pekerjaan dari tempat satu ke tempat lainnya.
Setelah berkeliling selama hampir tiga jam akhirnya aku mendapat sebuah
pekerjaan menjadi kasir di sebuah resetoran ternama. Meskipun kuliahku mendapat
beasiswa, tapi aku tetap harus mencari recehan demi recehan untuk membiayai
setiap kebutuhanku selama di Tangerang.
Empat tahun pun berlalu dengan
sangat lancar, aku kini menjadi seorang Sarjana. Aku siap menggapai mimpiku
yang telah berada di depan, sangat dekat denganku. Karena belum genap satu
minggu aku lulus, ada sebuah rumah sakit yang menawarkanku menjadi dokter umum
disana. Mereka tertarik dengan IPK ku yang hampir sempurna, yaitu 3,95. Jadi
mereka menawarkan pekerjaan tersebut untukku. Kali ini rasanya benar-benar
sebuah mimpi. Tanpa perlu kucari, tawaran tersebut datang sendiri padaku. Langsung
saja kujawab tawaran itu dengan jawaban “IYA”.
Sekarang mimpiku semua telah
menjadi nyata. Aku seorang dokter, punya rumah yang layak digunakan, dan aku
akhirnya mampu mendirikan sekolahku sendiri. Sebuah sekolah yang diperuntukkan
bagi mereka anak-anak jalanan yang tak mampu bersekolah dengan sewajarnya. Kini
aku pun mampu membawa kedua orang tuaku ke dalam kehidupan baru yang selama ini
mungkin hanya dapat mereka lihat tapi tak dapat dirasakan. Orang tuaku tak lagi
bekerja, aku tak ingin lagi melihat kedua orang tuaku susah payah mencari uang.
Biarkan hanya diri ini saja yang mencari uang demi membahagiakan beliau beliau
yang kini sudah tak muda lagi. Karena aku merasa perjuangan kedua orangtuaku
dalam membesarkanku sangatlah tidak mudah dengan kondisi yang sangat
kekurangan. Terutama Ibu, aku merasa diri ini tak mampu membalas setiap
keringat yang Ibu keluarkan untuk melahirkanku.
Seperti mimpi yang menjadi
kenyataan, itulah yang kurasakan saat ini. Aku yang dulu hanya menjadi anak
jalanan, hanya mampu melihat teman-teman sebayaku berangkat sekolah, sedangkan
aku harus mencari recehan-recehan di jalanan demi menyambung hidup, seperti tak
mungkin rasanya jika kini aku menjadi dokter. Tapi ini nyata bukan mimpi,
ternyata tidak sia-sia perjuanganku selama ini mengumpulkan recehan demi
recehan untuk biaya sekolah, dari SD sampai Universitas. Dulu semua itu seakan
tak mungkin kurasakan, tapi kini aku mampu membuktikan pada dunia bahwa aku
yang hanya anak jalanan akhirnya mampu mewujudkan mimpiku, mewujudkan apa yang
aku inginkan. Hanya bermodal mimpi, restu orang tua, dan sebuah kerja keras
yang teramat sangat, aku yakin setiap anak di negeri ini meskipun kondisi orang
tua mereka sangat kekurangan, mereka pasti mampu mewujudkan setiap mimpi
mereka. Karena tak ada yang tak mungkin dari sebuah mimpi. Hidup berawal dari
mimpi, itulah yang selalu kupegang dan kuyakini. Hanya mimpi yang mampu
menumbuhkan tekad terbesar dalam diri kita untuk maju. Ya, maju untuk
mewujudkan mimpi itu walaupun banyak cobaan yang dihadapi.
Inilah “Kekuatan Anak Negeri”, dimana mereka mampu hidup
ditengah kota yang keras dengan umur yang sangat muda. Aku yakin setiap anak di
negeri ini pasti punya mimpi mereka masing-masing, dan aku percaya anak negeri
ini tidak ada yang lemah. Semuanya kuat, sekuat mereka membawa mimpi mereka
dari ujung jalan satu ke ujung jalan lainnya. Mencari recehan demi mewujudkan
mimpi mereka. Itulah Anak Negeri, Aku cinta Indonesia, Aku cinta Anak Negeri
ini dengan segala kekuatan mereka.
No comments: