Berharap Pada Botol Kosong
Cerpen by Aldena Oktavian Permatasari
Dalam
sebuah pagi yang sejuk, kala mentari mulai menampakkan keindahannya dari ufuk
timur. Aku pun terbangun dari tidurku, membuka jendela lalu melihat keindahan
diluar kamar. Hari baru telah datang, kelas baru akan tempati, teman baru akan
kutemui, suasana baru akan kujalani. Sebuah tingkatan yang selalu dan pasti
terjadi pada setiap siswa di sekolah. Ya, aku pemilik nama Alin baru saja naik
dari kelas dua ke kelas tiga, hanya kurang satu tahun lagi aku akan lulus dari
SMK. Aku memilih SMK karena aku ingin bekerja setelah lulus nanti, kemudian
menabung sampai akhirnya aku mampu bekerja dan kuliah. Sebuah keinginan tulus
seorang anak yang ingin mandiri agar tak lagi menyusahkan orang tua.
Seperti
siswa pada umumnya, aku selalu bahagia dan tak sabar ingin memulai hari pertama
di kelas baru. Sistem di sekolahku adalah setiap naik kelas, siswa akan diacak
kembali. Jadi mulai dari kelas satu sampai kelas tiga teman sekelasnya
berbeda-beda. Kalaupun ada teman yang sama ( pernah satu kelas ) itu
perbandingannya 30 : 70 . Kebetulan aku sekelas lagi dengan beberapa teman
dekatku di kelas dua, sisanya teman-teman baru yang aku sudah kenal dulu namun
hanya kenal dalam sebuah nama, tidak lebih. Aku menjalani hari-hariku di awal
kelas tiga bersama teman-teman baru yang mulai kukenali lebih dari sekedar
nama. Sejak hari pertama di kelas tiga, aku duduk sama teman dekatku di kelas
dua yang bernama Ina. Aku dan Ina duduk di bangku nomor dua dari depan. Aku
termasuk bukan anak yang rajin, aku hanya patuh. Patuh pada beberapa peraturan
sekolah yang hukumannya berat, namun aku tidak patuh pada peraturan-peraturan
kecil yang hukumannya pun kecil. Seperti kenakalan siswa pada umumnya, aku
dengan beberapa teman dekatku pun seperti itu. Datang terlambat pada beberapa
jam pelajaran, beralasan ke kamar mandi padahal ingin pergi ke kantin saat jam
pelajarannya membosankan.
Hampir
enam bulan aku menjalani kehidupan baruku dengan indah dan bahagia. Sampai pada
suatu hari ketika sebuah kebosanan menghampiriku, sebuah kebosanan dimana aku
ingin sebuah posisi duduk yang baru. Aku bosan dengan tempat dudukku yang
sangat dekat dengan papan tulis dan guru, aku ingin mencoba suana baru. Hingga
ketika aku berkompromi dengan seorang teman untuk bertukat posisi duduk dan dia
menyetujuinya, aku pun langsung pindah tempat duduk keesokan harinya. Dari
posisi awalku yang berada di bangku nomor dua dari depan, kini aku berada di
bangku nomor dua dari belakang. Ina tidak mau ikut pindah, dia tetap
dibangkunya. Dan itu artinya aku tak lagi duduk sebangku dengan Ina. Ya tentu
saja, sekarang aku duduk dengan seorang cowok yang aku sendiri walau sudah
hampir enam bulan satu kelas dengannya tapi aku belum terlalu kenal dengan dia.
Hanya sedikit yang kutahu tentangnya, dia adalah Vero seorang anak tinggi tapi
kurus, pecinta olahraga terutama basket, dan sudah punya pacar.
Kumulai
hari baruku dengan suasana tempat duduk yang baru pula. Aku sering bercanda
tawa dengan Vero, saling ngledek satu sama lain, saling bantu saat pelajaran
atau saat ujian. Kami pun akhirnya menjadi dekat, berawal dari duduk sebangku
sampai akhirnya hampir setiap hari kami chatting ngomongin hal-hal penting
sampai hal-hal yang absurd banget. Sebuah kedekatan yang baru saja kujalani ini
mulai menumbuhkan sebuah perasaan lebih di dalam diriku. Namun, sahabatku Civa
selalu meyakinkan bahwa :
“Itu bukan cinta Alin, itu Cuma perasaan suka sesaat.”
Kalimat itu yang sedikit meyakinkanku bahwa yang kurasakan
saat ini hanyalah perasaan suka sesaat, nggak lebih.
Sialnya,
perasaan ini terus berlanjut dan semakin bertambah, entah karena alasan apa aku
pun tak mampu memahaminya. Terlebih ketika aku dan teman sekelas pergi untuk
melakukan foto bersama sebagai kenang-kenangan, berangkatnya aku dibonceng oleh
teman cewek. Tapi yang tak kusangka saat pulang ketika aku menunggu teman yang
tadi memboncengku, Vero lewat dan menawarkanku untuk naik alias dia menawariku
tumpangan yang artinya aku dibonceng sama dia. Seneng banget rasanya, aku berusaha
bersikap biasa. Aku dan Vero berbicara ini itu, bercanda tawa bersama selama
perjalanan. Lebih menyenangkan lagi ketika kami semua sedang makan di sebuah
restoran, aku duduk persis di sebelah Vero. Jujur aku sedikit grogi, namun aku
stay cool.
Ketika
kami duduk bersebelahan, Vero sedikit curhat padaku. Dia bercerita sedikit
tentang hubungannya dengan sang pacar yang ketika itu sedang ada sedikit
konflik. Dia bertanya ini itu dan meminta pendapatku. Sebagai teman biasa aku
pun memberikan pendapat yang obyektif. Hingga ia mengeluarkan sebuah kalimat
yang mungkin sedikit menamparku dalam hati, yaitu :
“Walaupun aku emosi gini ya, tapi aku sayang banget sama dia
Lin.”
Sebuah kalimat yang memang sewajarnya diucapkan oleh seorang
pacar kepada pacarnya sendiri. Namun, itu adalah kalimat tamparan untukku yang
mulai main hati dengan Vero. Sebuah kalimat yang seharusnya menyadarkanku bahwa
Vero tak mungkin menjadi milikku.
Dan
sejak saat itu aku mulai menjauh, tapi apa daya dia masih sering meminta
bantuanku untuk mengajarkannya matematika. Sebagai seorang teman aku tak mampu
menolak permintaan itu, dan akhirnya selama hampir 3 hari aku sering bersamanya
untuk belajar matematika. Perasaan itu kembali bertambah, melihatnya membuat
perasaanku semakin tak terarah. Kebersamaan itu tetap terjalin sampai satu
minggu sebelum kami para siswa kelas tiga liburan.
Saat
liburan aku dan Vero seperti manusia yang tak saling kenal, kami tak pernah
saling berbicara atau bercanda tawa. Di bis, aku duduk di depan dia duduk jauh di
belakang tepat di depan kamar mandi bis. Aku melihat dia bercanda tawa dengan
teman-temannya ( cewek dan cowok ). Kumulai liburanku keeseokan harinya saat
telah tiba di temoat wisata. Liburanku selama hampur empat hari itu rasanya tak
begitu indah. Kebahagiaan dan kesenangan yang teman-temanku rasakan tak
semuanya aku rasakan dengan bahagia. Karena liburanku kali ini dipenuhi dengan
perasaan bahagia dan sedih yang tercampur menjadi satu. Seketika aku mampu
tertawa lepas, namun seketika pula aku mampu meneteskan air mata tanpa
kusadari. Liburan kali ini tak seindah yang kubayangkan.
Hari-hariku
berubah, namun kesedihan itu tak terlalu besar karena aku memiliki
sahabat-sahabat yang selalu mampu membuatku tertawa lepas. Sampai tiba saat aku
harus meninggalkan kota itu dan pergi ke sebuah kota besar untuk meraih
impianku. Sebelum berangkat aku menitipkan sebuah surat untuk Vero, kutitipkan
surat itu pada tem sebuah surat yang isinya adalah perasaanku. Entah kenapa aku
sangat ingin mengungkapkan perasaan ini, aku tak mampu jika harus memendamnya
sendiri. Aku ingin Vero tahu, hanya sekedar tahu, aku tak berharap lebih. Dan
ketika waktu telah memintaku untuk segera meninggalkan kota ini, saat lonceng
tanda kereta api akan berjalan telah berbunyi tiba-tiba saja hp ini berbunyi,
ada sebuah notifikasi chatting di dalamnya. Kulihat nama pengirimnya yang tak
lain adalah Vero. Sebuah pesan singkat yang membuatku sedikit melting, bahagia
dan sebagainya.
“Hati-hati di jalan ya Lin”.
Namun sebuah kebingungan dalam diri ini ketika membaca pesan
itu adalah apa maksudnya mengirim pesan seperti itu setelah sekian minggu ini
kita tak saling bicara. Dan tidak mungkin pula jika dia sudah membaca pesanku,
karena surat yang kutitipkan tadi baru akan diberikan pada Vero keesokan
harinya. Ah sudahlah, aku pun tak ambil pusing masalah ini. Aku yakin mungkin
pesan itu hanya sebuah pesan basa-basi dari seorang teman pada temannya yang akan
pergi dari kota itu.
Keesokan
harinya aku sampai pada sebuah kota besar, kota baru yang akan kutempati dalam
beberapa tahun kedepan. Kota baru dengan lembaran baru pula. Aku memulai
hari-hari baruku dengan indah dan tenang, berusaha untuk selalu melupakan
setiap hal buruk yang telah kulalui belakangan ini.
Hampir
satu minggu telah berlalu, kehidupan baruku belum begitu sulit untuk
dimasa-masa awal. Namun memasuki minggu kedua, ada sebuah perbedaan yang
kurasakan. Vero datang lagi, berawal dari sms tentang surat yang kutitipkan
pada temannya, sampai pada sebuah ucapan :
“Kita berteman aja kayak biasanya ya”
Sakit, tapi itulah perasaan dia. Aku tak mampu memaksanya.
Aku pun sadar diri, tak ingin lagi berhubungan dengan dia. Tapi berbeda
denganku, sejak hari itu Vero jadi sering mengirimkanku pesan. Sebuah pesan
yang bagiku pesan itu adalah sebuah perhatian dari dia untukku. Seperti
layaknya wanita pada umumnya, aku pun bahagia diperlakukan seperti itu. Aku pun
membalas perhatiannya padaku. Selama hampir satu bulan lebih kami seperti itu,
saling memperhatikan satu sama lain, saling berbagi cerita lucu dan cerita
buruk. Sling sharing dan memberi solusi. Terkadang aku berpikir apakah yang
kulakukan ini benar atau salah ? Aku tak tahu, yang kutahu aku sekarang
bahagia.
Sampai
suatu ketika saat aku membuka sebuah media sosial dan membaca sebuah kalimat
dari sesorang yang hubungannya sangat dekat denganku, sebuah kalimat yang
mengungkapkan kekesalannya atas sikapku selama ini. Dan entah bagaimana ini
bisa terjadi kalimat itu seketika menjadi sebuah cambuk menyakitkan untukku.
Membuat diri ini sadar akan kesalahan yang telah kulakukan selama ini.
Kesalahan dari sebuah perbuatan yang akan menyakitkan beberapa orang terdekat
kami. Akhirnya tibalah hari itu, dimana aku memutuskan dan bertekad untuk
benar-benar menjauh dari Vero. Aku ingin pergi menghilang tanpa jejak darinya.
Kukirimkan sebuah pesan padanya agar kita tak lagi saling berhubungan. Dan
sebuah persetujuan resmi dia katakan, sebuah persetujuan yang kupikir sama
sekali tiada penyesalan pada dirinya jika harus benar-benar putus kontak
denganku. Baiklah aku semakin menguatkan tekad, aku harus kuat.
Satu
bulan kemudian aku masih tak mampu melupakan keindahan dan manisnya masa-masa
aku dekat dengan Vero, rasanya tak mampu jika diri ini harus benar-benar jauh
darinya. Kemurungan, kesedihan, air mata itulah yang kulalui dan kurasakan
setelah hari itu, setelah aku memutuskan menjauh darinya. Aku merasa perasaan
ini tak dapat pergi begitu saja, aku bingung apa yang harus kulakukan. Apakah
aku harus menunggunya tanpa sebuah kepastian? Jujur saja walau dia pernah
berkata “kita berteman saja”, tapi sikapnya setelah berkata seperti itu sama
sekali tak menunjukkan sikap seorang teman sewajarnya. Tentu banyak pertanyaan kembali
muncul dalam benakku, “apa dia benar-benar ingin berteman? Apa dia benar-benar
tak ada perasaan denganku? Lalu apa artinya semua ini? Apa artinya perhatian
dia selama ini?”. Dan aku pun memutuskan untuk menunggunya, menunggu sampai
pertanyaan-pertanyaan itu terjawab dengan tegas.
Setelah
hampir lima bulan aku menunggu tetapi sama sekali tiada ketegasan darinya,
bahkan dia bersenang-senang begitu saja, seperti tiada beban sedikit pun dalam
dirinya. Menyakitkan, itulah yang kurasakan saat ini. Ketika sebuah botol yang
telah terisi penuh oleh cinta untuknya, namun apa daya karena kebodohan botol
tersebut, ia telah menyia-nyiakan cintanya hanya untuk menunggu ketidakpastian
dari sebuah botol yang bahkan tak terisi cinta sedikitpun. Seperti itulah aku,
bodoh ketika aku telah dibutakan oleh cinta, ketika aku tak lagi melihat
kenyataan, ketika aku hanya berpegang pada dunia khayal yang tak semuanya mampu
menjadi nyata. Dan kini, sebuah keyakinan telah benar-benar datang, keyakinan
bahwa aku haru move, aku harus pindah, aku harus melupakannya. Kebodohan yang
pernah kulakukan tidak boleh terulang kembali, aku tak mau jatuh pada lubang
yang sama. Biarkan ini menjadi pengalaman dan pelajaran bagiku bahwa dahulu aku
telah menyia-nyiakan waktuku hanya untuk berharap pada sebuah botol kosong yang
sama sekali tak terisi cinta atau kasih sayang untukku.
Sekarang,
aku mulai semua dari awal lagi dan membuka lembaran baru. Melupakan
keterpurukan yang pernah kulalui dan merubah keterpurukan itu menjadi sebuah
keindahan dan kebahagiaan. Semoga kita bisa mencintai apa yang juga mencintai
kita. Karena cinta diciptakan untuk dua insan manusia agar mereka mampu berbagi
cinta dan kasih sayang mereka satu sama lain. Jadi, ketika cinta hanya ada pada
dirimu, ketika dia yang kita cintai sama sekali tidak mencintai kita maka
menjauhlah. Pergi menjauh sebelum kamu menyia-nyiakan waktu dan hatimu hanya
untuk orang yang bahkan tidak mau memberikan hatinya untukmu. Lalu saat kamu
berusaha pergi darinya, berdoa dan yakinlah bahwa cinta itu akan datang padamu
meski kita tidak tahu kapan dan siapa.
No comments: